Emosi dan perasaan akan bergolak dikarenakan dua hal; kegembiraan yang memuncak dan musibah yang berat. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku melarang dua macam ucapan yang bodoh lagi tercela: keluhan tatkala mendapat nikmat dan umpatan tatkala mendapat musibah.”
Dan,
Allah berfirman,
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.)
Maka dari itulah, Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya kesabaran itu ada
pada benturan yang pertama.”
Barangsiapa mampu menguasai
perasaannya dalam setiap persitiwa, baik yang memilukan dan juga yang
menggembirakan, maka dialah orang yang sejatinya memiliki kekukuhan iman dan
keteguhan keyakinan. Karena itu pula, ia akan memperoleh kebahagiaan dan
kenikmatan dikarenakan keberhasilannya mengalahkan nafsu. Allah s.w.t
menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang senang bergembira dan berbangga
diri. Namun, menurut Allah, ketika ditimpa kesusahan manusia mudah berkeluh
kesah, dan ketika mendapatkan kebaikan manusia sangat kikir. Akan tetapi, tidak
demikian halnya dengan orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Itu karena
merekalah orang-orang yang mampu berdiri seimbang di antara gelombang kesedihan
yang keras dengan dan luapan kegembiraan yang tinggi. Dan mereka itulah yang
akan senantiasa bersyukur tatkala mendapatkan kesenangan dan bersabar tatkala
berada dalam kesusahan.
Emosi yang tak terkendali hanya
akan melelahkan, menyakitkan, dan meresahkan diri sendiri. Sebab, ketika marah,
misalnya, maka kemarahannya akan meluap dan sulit dikendalikan. Dan itu akan
membuat seluruh tubuhnya gemetar, mudah memaki siapa saja, seluruh isi hatinya
tertumpah ruah, nafasnya tersengal-sengal, dan ia akan cenderung bertindak
sekehendak nafsunya. Adapun saat mengalami kegembiraan, ia menikmatinya secara
berlebihan, mudah lupa diri, dan tak ingat lagi siapa dirinya.
Begitulah manusia, ketika tidak
menyukai seseorang, ia cenderung menghardik dan mencelanya. Akibatnya, seluruh
kebaikan orang yang tidak ia sukai itu tampak lenyap begitu saja. Demikian pula
ketika menyukai orang lain, maka orang itu akan terus ia puja dan sanjung
setinggi-tingginya seolah-olah tak ada cacatnya. Dalam sebuah hadist dikatakan:
“Cintailah orang yang engkau cintai
sewajarnya, karena siapa tahu ia akan menjadi musuhmu di lain waktu, dan
bencilah musuhmu itu sewajarnya, karena siapa tahu dia menjadi sahabatmu di
lain waktu.”
Dalam sebuah hadist Rasulullah
bersabda, “Ya Allah saya minta padaMu
keadilan pada saat marah dan lapang dada.”
Barangsiapa mampu menguasai
emosinya,mengendalikan akalnya dan menimbang segalanya dengan benar, maka ia
akan melihat kebenaran, akan tahu jalan yang lurus dan akan menemukan hakekat.
(Sesungguhnya, Kami telah mengutus
rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan.)
(QS. Al-Hadid:25)
Islam mengajarkan keseimbangan
norma, budi pekerti, dan perilaku sebagaimana ia mengajarkan manhaj yang lurus, syariat yang
diridhai, dan agama yang suci.
(Dan, demikianlah (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.)
(QS. Al-Baqarah: 143)
Keadilan merupakan tuntutan yang
ideal sebagaimana ia dibutuhkan dalam penerapan hukum. Itu terjadi, karena pada
dasarnya Islam dibangun di atas pondasi kebenaran dan keadilan. Yakni, benar
dalam memberitakan berita-berita Ilahi dan adil dalam menetapkan hukum,
mengucapkan perkataan, melakukan tindakan dan berbudi pekerti.
(Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu
(al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.)
(QS. Al-An’am: 115)
Sumber: Buku La Tahzan karya DR. Aidh
al-Qarni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar